Friday, March 24, 2017

Keindahan di Balik Kegagalan

Keindahan di Balik Kegagalan

Maha suci Allah I yang telah mencipta segala sesuatu pasti ada maksud, tak sia-sia keberadaanya. Termasuk menghadirkan kegagalan demi kegagalan dalam kehidupan seseorang. Bagi orang-orang sukses, setiap kesalahan, kemunduran, mungkin kebangkrutan dan kegagalan demi kegagalan merupakan guru terbaik yang akan mematangkan mental dan membimbing mereka menciptakan kesuksesan.

Jika kita sudah menyadari bahwa segalanya dihadirkan pasti ada tujuan, termasuk kegagalan, maka apabila kita melakukan sebuah usaha lantas gagal maka bersyukurlah karena kita diberi kesempatan untuk berbenah. Pandanglah dari sudut pandang yang positif, maka kita akan melihat keindahan yang selama ini mungkin terlewatkan.

Yah…kalau belum terbiasa, rasanya memang sangat berat, gagal kok disuruh mencari nilai positifnya.Tapi, saat emosi mulai redah dan stabil akibat kegagalan tersebut, sering kali yang dulu dianggap kegagalan ternyata menyimpan sejuta pembelajaran dan yang dulu dianggap masalah ternyata di kemudian hari malah jadi berkah. ” Oh, kemarin aku kalah tender ternyata ada masalah di balik tender itu…untung bukan aku yang menang..”. “Hemm…untung dulu aku ditolak jadi karyawan di perusahaan tersebut, jika diterima, mungkin saya tidak jadi orang sukses seperti sekarang ini..”

Seperti kita ketahui, kegagalan itu adalah sebuah kata yang tidak enak untuk didengar, sesuatu yang tidak disukai dan setiap orang tidak menginginkannya.Tetapi seperti disebutkan di atas, kegagalan dicipta pasti ada hikmah yang tersembunyi. Mungkin saja kegagalan itu datang untuk memuliakan hati kita, membersihkan pikiran dari keangkuhan, memperluas wawasan kita, mendekatkan diri kita kepada Allah I, mengajarkan kita menjadi gagah tatkala lengah dan menjadi berani ketika takut. Jhon F. Kennedy berkata, ” Hanya orang yang berani gagal total yang akan meraih sukses total.”  Jadi jangan takut gagal karena itu sama saja dengan takut sukses. Takut sukses? Adakah orang yang takut sukses?

Menurut definisi Profesor Schein, takut sukses adalah perasaan yang mengajak kita untuk menghindari usaha setelah kita gagal. Inilah penyakit yang disebut takut sukses. Kita menjadikan kegagalan kita sebagai alasan atau pembenar untuk menghindari usaha yang merupakan syarat mutlak meraih keberhasilan. Konon, penyakit inilah yang paling banyak diderita oleh manusia. Kegagalan adalah keniscayaan dalam perjuangan meraih impian.Dengan menyadari keberadaan kegagalan, kita akan selalu optimis menatap masa depan. Bahkan sebenarnya kegagalan itu sangat penting bagi karier siapapun. Untuk menjadikan kegagalan sebagai sumber motivasi dalam meraih keberhasilan yang kita inginkan, maka kita perlu membuka pikiran dengan pilihan. Ada banyak cara dan pintu untuk mencapai tujuan, banyak jalan menuju Mekah. Karena itu jangan digelapkan oleh satu cara yang sudah nyata-nyata gagal. Kalau satu cara gagal bukan berarti cara lain sudah tertutup dan itu adalah akhir segalanya. Masih banyak opsi dan pilihan yang bisa kita lakukan.

Allah I berfirman yang artinya, “Dan Ya’kub berkata: Hai anak-anakku, janganlah kalian bersama-sama memasuki dari satu pintu gerbang, masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan, namun demikian aku tiada dapat melepaskan kalian barang sedikitpun dari takdir Allah I. Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah I. Kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri.” (QS. Yusuf : 67)   Dengan kegagalan Allah I  memberikan tahap pembelajaran, mematangkan mental, emosional dan spiritual kita. Kegagalan adalah tangga-tangga menuju puncak kesuksesan. Itulah indahnya kegagalan yang dapat membiaskan pengalaman-pengalaman yang mempesona, sebagai modal kehidupan dalam pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Rahman. Semoga.
http://www.muslimedianews.com

Friday, March 17, 2017

Nikmatnya amal

 Nikmatnya amal

amal kecil, sederhana, ringan namun saat dilakukan menjadi terasa berat. Dan, ada juga amal yang besar dan berat namun saat dilakukan menjadi terasa ringan dan nikmat. Perbedaan pada keduanya terletak pada niat. Orang yang beramal dengan ikhlas mengharap penghargaan dan ridho Alloh Swt., maka amal sebesar apapun, tugas seberat apapun akan terasa ringan, nikmat dan mengasyikan. Sedangkan orang yang beramal dengan tidak ikhlas, mencari pujian dan penghargaan makhluk, maka amal sekecil apapun akan terasa berat.
Rosululloh Saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Alloh dan Rosul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Alloh dan Rosul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhori Muslim)
Tidak ada pekerjaan atau amal yang nikmat selama amal tersebut kita pandang sebagai beban. Jika sedari awal saja sudah kita pandang sebagai beban, maka ketika melakukannya pun akan terasa berat. Berbeda dengan orang beriman yang setiap amal dan pekerjaannya selalu ia pandang sebagai ladang ibadah kepada Alloh Swt. Ia yakin bahwa sekecil apapun amal akan berlipat ganda nilainya jikalau dilakukan lillaahita’ala, sehingga ia semakin bersemangat dan semakin berenergi dalam beramal.
Orang yang dalam amalnya senantiasa diiringi dengan niat lurus, hati yang senantiasa ingat kepada Alloh, sikap yang senantiasa dijaga agar senantiasa jujur dan amanah, maka Alloh akan limpahkan baginya ketenangan dan ketentraman batin. Inilah hikmah bagi orang-orang yang beramal secara ikhlas. Semoga kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Aamiin yaa Robbal’aalamiin.

Tuesday, March 7, 2017

Sebab-sebab Perbedaan pendapat Fiqih di Kalangan para Sahabat Nabi


Mengenal Sebab-sebab Perbedaan pendapat Fiqih di Kalangan para Sahabat Nabi

· · in Fiqih. ·
 Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, seluruh permasalahan tasyri’ (hukum) kembali pada beliau. Oleh karena itu perbedaan pendapat lebih mudah dipertemukan. Mereka memahami dan puas atas apa yang diputuskan bagi mereka. Jika ada yang kurang mereka fahami maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan menjelaskannya. Sampai disana selesailah permasalahannya.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para sahabat tinggal berpencar di beberapa negeri yang berjauhan dan mereka menjadi panutan masyarakat setempat. Sementara itu permasalahan semakin berkembang, dan merekalah yang menjadi tumpuan pertanyaan. Mereka pun menjawab sesuai dengan hafalan dan kemampuan istinbath (pengambilan kesimpulan hukum) mereka. Seandainya jawaban mereka itu belum memenuhi harapan, maka mereka berijtihad dan berusaha mengetahui illat (sebab/alasan) yang dijadikan pertimbangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menentukan hukum melalui penelaahan beberapa hadits.
Perbedaan pendapat di kalangan sahabat timbul diantaranya disebabkan hal-hal berikut:

Seorang sahabat mendengar suatu putusan atau fatwa hukum, sedangkan yang lain tidak, sehingga mereka berijtihad. Ijtihadnya ada beberapa kemungkinan:

Pertama, Ijtihadnya sesuai dengan hadits
Ibnu Mas’ud pernah memutuskan perkara wanita yang ditinggal mati suaminya yang belum menentukan jumlah maharnya. Beliau memutuskan perkara itu dengan ra’yunya karena tidak mendapatkan keterangan dari hadits. Keputusannya tersebut ternyata dikuatkan oleh Ma’qil Ibn Yasr yang bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah memutuskan hal yang sama.
Berikut hadits yang mengungkapkan tentang hal di atas:

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَلَمْ يَفْرِضْ لَهَا صَدَاقًا وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتَّى مَاتَ فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نِسَائِهَا لَا وَكْسَ وَلَا شَطَطَ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَهَا الْمِيرَاثُ فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الْأَشْجَعِيُّ فَقَالَ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِرْوَعَ بِنْتِ وَاشِقٍ امْرَأَةٍ مِنَّا مِثْلَ الَّذِي قَضَيْتَ فَفَرِحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ

Dari Ibnu Mas’ud bahwa dia ditanya tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita. Lelaki tersebut belum menentukan mahar juga belum menyetubuhinya dan tiba-tiba meninggal. Ibnu Mas’ud menjawab; “Wanita itu berhak mendapatkan mahar yang sama dengan mahar istri lainnya, tanpa dikurangi atau ditambah. Dia harus menjalani masa iddah dan dia mendapatkan harta warisan.” Lantas Ma’qil bin Sinan Al Asyja’i berdiri sambil berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi keputusan hukum mengenai Barwa’ binti Wasyiq, salah seorang dari kaum kami seperti yang kau putuskan.” Ibnu Mas’ud merasa senang. (HR. Tirmidzi)
Kedua, pendapatnya diralat karena ditemukan hadits
Abu Hurairah pernah berpendapat bahwa orang yang junub pada pagi hari di bulan Ramadhan tidak wajib berpuasa. Pendapat itu kemudian diralatnya setelah ‘Aisyah memberitahukan bahwa Rasulullah menyatakan hal yang sebaliknya.
Simaklah hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي بَكْرٍ بن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بنِ هِشَامٍ قَالَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُصُّ يَقُولُ فِي قَصَصِهِ مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ لِأَبِيهِ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَانْطَلَقَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَسَأَلَهُمَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ ذَلِكَ قَالَ فَكِلْتَاهُمَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ قَالَ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى مَرْوَانَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ مَرْوَانُ عَزَمْتُ عَلَيْكَ إِلَّا مَا ذَهَبْتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَرَدَدْتَ عَلَيْهِ مَا يَقُولُ قَالَ فَجِئْنَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَأَبُو بَكْرٍ حَاضِرُ ذَلِكَ كُلِّهِ قَالَ فَذَكَرَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَهُمَا قَالَتَاهُ لَكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ هُمَا أَعْلَمُ ثُمَّ رَدَّ أَبُو هُرَيْرَةَ مَا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ إِلَى الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ الْفَضْلِ وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَرَجَعَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَمَّا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ قُلْتُ لِعَبْدِ الْمَلِكِ أَقَالَتَا فِي رَمَضَانَ قَالَ كَذَلِكَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ

Dari Abu Bakr bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dia menuturkan : Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu suatu saat bercerita dan mengatakan di dalam ceritanya itu bahwa “Barangsiapa yang menemui waktu fajar dalam keadaan junub maka hendaknya dia tidak berpuasa.” Aku (Abu Bakr) menceritakan hal itu kepada Abdurrahman bin Al-Harits (yaitu ayahnya sendiri). Ternyata beliau mengingkari hal itu. Lantas Abdurrahman pun berangkat menemui ‘Aisyah dan Ummu Salamah dan aku juga ikut pergi bersamanya.
Ketika kami bertemu dengan mereka berdua, beliau (Abdurrahman) menanyakan kepada mereka berdua tentang hal itu. Abdurrahman berkata : Mereka berdua mengatakan bahwa “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu subuh dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah kemudian beliau tetap berpuasa.”
Kemudian kami beranjak pergi menemui Marwan (bin Al-Hakam, gubernur kota Madinah di saat itu, pen). Lantas Abdurrahman pun menceritakan kisah itu kepadanya. Lalu Marwan mengatakan, “Aku bersumpah kepadamu, tetaplah pada pendirianmu dan temuilah Abu Hurairah untuk membantah apa yang pernah dia katakan.” Dia berkata, “Kami pun datang menemui Abu Hurairah dan saat itu Abu Bakr juga hadir di sana menyaksikan semuanya.”
Abu Bakr menceritakan : kemudian Abdurrahman pun menyampaikan masalah itu kepadanya (Abu Hurairah). Lantas Abu Hurairah berkata, “Apakah mereka berdua benar-benar telah menceritakan hal itu kepadamu?”. Abdurrahman menjawab, “Iya.” Maka Abu Hurairah mengatakan, “Mereka berdua tentu lebih mengetahui.”
Kemudian Abu Hurairah menyandarkan pendapat yang dulu pernah diucapkannya dalam masalah itu kepada (penuturan) Al-Fadhl bin Al-Abbas. Abu Hurairah berkata, “Aku hanya mendengarnya dari Al-Fadhl, dan aku tidak mendengarnya langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Hurairah pun rujuk dari pendapatnya yang dulu dalam masalah itu.
Aku (Ibnu Juraij, salah seorang periwayat hadits ini) berkata kepada Abdul Malik (anak dari Abu Bakr, pen), “Apakah mereka berdua (Aisyah dan Ummu Salamah) juga mengatakan bahwa hal itu terjadi di bulan Ramadhan?”. Dia menjawab, “Memang begitu, ketika itu beliau junub (tapi) bukan karena mimpi basah, kemudian beliau tetap berpuasa.” (HR. Muslim [1109]).
Ketiga, Hadits yang ada tidak dianggap kuat, maka ijtihadnya tidak ditinggalkan
Umar bin Khattab berpendapat bahwa tayamum itu tidak mencukupi bagi orang junub yang tidak menemukan air. Disampaikan oleh Ammar kepada beliau hadits Nabi yang menyatakan bahwa tayamum sudah mencukupi. Tapi Umar tidak menerima hadits itu sebagai hujjah sampai hadits itu menjadi masyhur dari beberapa jalur sanad, lalu orang pun banyak menggunakannya.
Hadits yang mengungkapkan tentang hal ini diantaranya adalah:

 جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ؛ فَقَالَ: إِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ، فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ؛ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هكَذَا، فَضَرَبَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ، وَنَفَخَ فِيهِمَا وَجْهَهُ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ أخرجه البخاري في: 7 كتاب التيمم: 4 باب المتيمم هل ينفخ فيهما

Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Alkhatthab dan bertanya: “Saya berjanabat lalu tidak mendapat air.” Maka Ammar r.a. berkata kepada Umar: “Apakah anda tidak ingat ketika aku bersamamu dalam bepergian lalu kita berdua berjanabat, adapun Anda tidak shalat, sedang aku berguling-guling di tanah lalu shalat, lalu hal itu saya ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya cukup bagimu berbuat begini’, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul-kan kedua tapak tangan ke tanah, lalu ditiup kemudian diusapkan mukanya dan kedua tapak tangannya.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Tayamum, bab 4)
Keempat, Tidak ada hadits yang didengar sama sekali
Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan pengingkaran terhadap Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma ketika sampai kabar kepada Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma menyuruh kaum wanita agar melepaskan ikatan rambut mereka saat mandi. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

يَا عَجَبًا بِالْنِ عَمْرٍو هَذَا! يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوسَهُنَّ، أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُؤُوسَهُنَّ؟ لَقَدْ أَغْتَسِلُ أَناَ وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، فَمَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ  عَلَى رَأْسِي ثَلاَثَ إِفْرَغَاتٍ

“Aneh sekali Ibnu Amr itu! Dia memerintah para wanita melepaskan ikatan rambut mereka saat mandi. Mengapa dia tidak menyuruh mereka mencukur rambut sekalian? Dahulu aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana, dan aku tidak lebih dari sekadar menuangkan ke atas kepalaku tiga tuangan.” (HR. Muslim no. 745)

Mereka melihat Rasulullah melakukan sesuatu, sebagian menganggapnya sebagai suatu bentuk qurbah (ibadah) sementara sebagian yang lain menganggapnya sebagai ibahah (kebolehan).

Jumhur berpendapat bahwa lari-lari kecil ketika thawaf adalah sunnah. Tapi Ibnu Abbas berpendapat bahwa tindakan tersebut adalah karena pengaruh eksternal, yaitu respon terhadap perkataan orang musyrikin yang mengatakan bahwa kaum muslimin dalam kondisi lemah karena terhinggapi penyakit panas Yatsrib.
Haditsnya adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ أَرَأَيْتَ هَذَا الرَّمَلَ بِالْبَيْتِ ثَلَاثَةَ أَطْوَافٍ وَمَشْيَ أَرْبَعَةِ أَطْوَافٍ أَسُنَّةٌ هُوَ فَإِنَّ قَوْمَكَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ سُنَّةٌ قَالَ فَقَالَ صَدَقُوا وَكَذَبُوا قَالَ قُلْتُ مَا قَوْلُكَ صَدَقُوا وَكَذَبُوا قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ مَكَّةَ فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ إِنَّ مُحَمَّدًا وَأَصْحَابَهُ لَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يَطُوفُوا بِالْبَيْتِ مِنْ الْهُزَالِ وَكَانُوا يَحْسُدُونَهُ قَالَ فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْمُلُوا ثَلَاثًا وَيَمْشُوا أَرْبَعًا

Dari Abu Thufail ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Tahukah Anda tentang berlari-lari kecil sebanyak tiga kali putaran di Baitullah dan berjalan empat kali putaran, apakah hal tersebut merupakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Sebab, kaum Anda menganggap bahwa hal tersebut adalah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?.’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Mereka benar, namun mereka juga telah keliru.’ Aku bertanya, ‘Apa maksud ungkapanmu, bahwa mereka benar, namun keliru?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah datang ke Makkah, lalu orang-orang Musyrik mengatakan bahwa Muhammad dan para sahabatnya tidak mampu thawaf di Baitullah karena lemah. Orang-orang musyrik itu dengki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Ibnu Abbas melanjutkan; ‘Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat agar berlari-lari kecil tiga kali putaran dan empat kali putaran berjalan biasa.'” (HR. Muslim)

Perbedaan karena salah faham

Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika perjalanan haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di masjid Dzulkhulaifah, beliau shalat dua rakaat. Disitulah Allah mulai mewajibkan haji. Kemudian beliau berihram. Hal itu terdengar oleh para sahabatnya dan dihafalkannya.

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهَلَّ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ

“Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan do’a talbiyah setelah shalat.” (HR. An-Nasa’i)
Hadits dari Jabir menyebutkan:

مَا أَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مِنْ مَسْجِدِ ذِي الْحُلَيْفَةِ

“…tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan doa talbiyah kecuali dari Masjid Dzul Hulaifah.” (HR. An-Nasa’i).
Setelah itu beliau naik unta, ketika unta itu bangkit dan mulai melangkah beliau kemudian bertalbiyah. Hal ini pun disaksikan oleh sebagian sahabat yang berdatangan berkelompok-kelompok, mereka kemudian mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah ketika beliau beranjak ke arah tujuannya.
Salim bin Abdullah berkata:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْكَبُ رَاحِلَتَهُ بِذِي الْحُلَيْفَةِ ثُمَّ يُهِلُّ حِينَ تَسْتَوِي بِهِ قَائِمَةً

“Sesungguhnya Abdullah bin Umar berkata: ‘Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengendarai kendaraannya di Dzul Hulaifah, kemudian mengucapkan doa talbiyah di saat kendaraan tersebut berdiri membawanya.'” (HR. Nasa’i)
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di puncak Al-Baida’ beliau masih bertalbiyah. Hal itu diketahui sahabat lain yang kemudian mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah ketika sampai di puncak Al-baida’.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْبَيْدَاءِ ثُمَّ رَكِبَ وَصَعِدَ جَبَلَ الْبَيْدَاءِ وَأَهَلَّ بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ حِينَ صَلَّى الظُّهْرَ

“Dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Dhuhur di Baida`, kemudian beliau mengendarai kendaraannya dan menaiki gunung Al Baida`, serta mengucapkan doa talbiyah untuk melakukan haji dan umrah disaat telah melakukan shalat Dhuhur.” (HR. An-Nasa’i)

جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ فِي حَجَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَتَى ذَا الْحُلَيْفَةِ صَلَّى وَهُوَ صَامِتٌ حَتَّى أَتَى الْبَيْدَاءَ

“Ja’far bin Muhammad menceritakan dari ayahnya dari Jabir mengenai haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; kemudian setelah sampai Dzul Hulaifah beliau melakukan shalat serta terdiam hingga sampai Baida'”. (HR. Nasa’i)

Perbedaan karena lupa

Pernah disampaikan kepada ‘Aisyah bahwa Ibnu Umar Radliyallahu ‘Anhuma berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam pernah melakukan umrah sebanyak empat kali, salah satunya di bulan Rajab.”  Maka Aisyah berkata,

يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَهُوَ مَعَهُ وَمَا اعْتَمَرَ فِي رَجَبٍ قَطُّ

“Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah kecuali dia ikut serta, tapi sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perbedaan penalaran

Ibnu Umar pernah menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seorang mayat disiksa oleh sebab tangis dan ratap keluarganya. Aisyah kemudian meralatnya bahwa yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan bermaksud seperti itu. Menurut Aisyah Nabi bersabda: “Keluarganya menangisinya, padahal ia sedang disiksa di dalam kuburnya.” Ibnu Umar mengira bahwa siksaan tersebut disebabkan oleh tangisan keluarganya.
Hadits tentang hal ini adalah sebagai berikut.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، مُنَاظَرَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ فِي الْبُكَاءِ عَلَى الْمَيِّتِ، وَرُجُوعِهِمَا فِيهِ إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ وَقَوْلِهَا: وَاللَّهِ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَحَدٍ، وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الْكَافِرَ يَزِيدُهُ عِنْدَ اللَّهِ بُكَاءُ أَهْلِهِ عَذَابًا شَدِيدًا، وَإِنَّ اللَّهَ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى، وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“Dari Abdullah bin Abu Mulaikah, telah bermunazharah (berselisih) Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas di dalam masalah menangisi mayit, lalu mereka berdua merujuk tentang hal itu kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a dan beliau berkata : ‘Demi Allah tidaklah yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  ‘Sesungguhnya mayat akan disiksa dikarenakan tangisan salah seorang dari kalian’, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang kafir akan ditambah (siksaannya) oleh Allah karena ditangisi oleh keluarganya dengan siksaan yang sangat keras, dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan tertawa dan menangis (QS.53 – an-Najm : 43), dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS. 6 – an-An’am : 164) ” (HR. Imam Hakim, Al-Mustadrak 1/537 )

Perbedaan dalam memahami illat hukum

Seperti tentang berdirinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada jenazah yang lewat. Sebagian berpendapat bahwa itu karena penghormatan beliau. Sebagian lagi berpendapat bahwa itu karena tidak senang jenazah lewat di atas kepalanya. Hal ini khusus bagi mayat kafir.

Perbedaan dalam mengkompromikan dua pendapat yang berbeda

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dispensasi kawin mut’ah pada Perang Khaibar, kemudian melarangnya, dan memperbolehkannya lagi pada Perang Authas, kemudian melarangnya lagi. Ibnu Abbas berkata: “Dispensasi itu karena adanya darurat, dan larangan itu karena hilangnya darurat.” Sedangkan jumhur berpendapat bahwa dispensasi itu adalah sebagai kebolehan dan larangan itu sebagai penghapusan.
Jumhur diantaranya merujuk pada hadits berikut ini:

عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يُلَيِّنُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَقَالَ: مَهْلًا يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ, نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bersikap lunak tentang praktik mut’ah atas kaum wanita. Lalu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pun menegur, “Hati-hati, wahai Ibnu Abbas! Sebab, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang praktik mut’ah pada Perang Khaibar. Demikian juga, beliau melarang untuk mengonsumsi keledai peliharaan.” (HR. Muslim)
Dalam beberapa riwayat diterangkan bahwa pendapat Ibnu Abbas itu pun hanya dalam keadaan darurat, sebagaimana halnya hukum darah, bangkai, dan daging babi.
Abu ‘Awanah (al-Mustakhraj, no. 4057) meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ar-Rabi’ bin Sabrah, beliau berkata, “Sebelum meninggal dunia, Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwa tersebut.”
Al-Imam an Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim. Beliau mengatakan, “Pendapat yang benar dan dipilih, pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah masing-masing terjadi sebanyak dua kali. Sebelum peristiwa Khaibar dihalalkan, kemudian pada saat perang Khaibar diharamkan. Lalu ketika terjadi Fathu Makkah—termasuk Perang Authas karena bersambung—, nikah mut’ah diperbolehkan lagi. Akan tetapi, tiga hari kemudian, nikah mut’ah diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat.” Sahabat Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ, بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ  دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا

“Pada tahun Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah. Kemudian, tidaklah kami keluar meninggalkan kota Makkah kecuali dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya untuk kami.” (HR. Muslim no. 1406)
Wallahu A’lam…
Dikutip dan diringkas dari: Lahirnya Mazhab-mazhab Fiqh, Syaikh Waliyullah Al-Dahlawy serta dilengkapi hadits-hadit dari berbagai sumber.

Wednesday, March 1, 2017

Bentuk Pengabdian Manusia Kepada Allah Swt

Bentuk Pengabdian Manusia Kepada Allah Swt

Di dalam al-Qur’an, Allah Swt. memaktubkan bahwa tugas hidup manusia adalah beribadah kepada-Nya. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyat: 56). Lalu timbul pertanyaan, bagaimana sikap manusia terhadap bentuk pengabdian atau ibadah manusia kepada Allah Swt? Apakah cukup hanya dengan sekedar menjalankan ibadah-ibadah dianjurkan untuk dilakukan saja? Apakah cukup dengan menjadikan semua aktivitas yang dilakukan harus mengandung nilai ibadah kepada-Nya?

Bila dikaji di dalam al-Qur’an, seluruh pertanyaan tersebut telah dijelaskan Allah Swt. Ada tiga bentuk pengabdian manusia kepada Allah Swt. Pertama, Ketundukan hati kepada Allah Swt. Para ulama sepakat, bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah tunduk, patuh dan merendahkan diri di hadapan Allah Swt. Artinya, pengabdian manusia semata-mata kepada Allah Swt.

Apa pun yang dilakukan manusia mesti bersandarkan dan berorientasi kepada nilai ketundukan, kepatuhan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah Swt. Dan ibadah, bukanlah sekedar shalat, puasa, zakat dan haji saja. Tapi apa pun yang dilakukan manusia yang mengandung nilai baik bisa dijadikan ibadah kepada Allah Swt. Bagaimana caranya? Rasulullah Saw. telah mengajarkannya melalui sabdanya, “Setiap pekerjaan yang punya nilai tetapi pekerjaan tersebut tidak dimulai dengan Bismillahhirrahmanirrahim, maka pekerjaannya terputus.”

Maksud dari kata terputus, menurut Syeikh Mutawalli Sya’rawi di dalam tafsirnya, hilangnya keberkahan dan pahala dari Allah Swt. Pekerjaan yang dilakukan menjadi tidak sempurna. Orang yang memulai pekerjaannya dengan membaca basmalah, ia tidak hanya mendapatkan balasan materi dari yang dikerjakannya, tapi juga mendapatkan balasan pahala dari Allah Swt. Dan inilah yang membedakan pekerjaan orang Islam dengan orang kafir.

Banyak di antara pribadi muslim kurang menyadari betapa pentingnya mengawali pekerjaan-pekerjaan yang baik dengan membaca basmalah. Padahal, tidaklah perbuatan baik tersebut bisa dilakukan tanpa ada izin Allah Swt. Dengan membaca basmalah, pada dasarnya kita sedang menunjukkan kerendahan diri kita kepada Allah Swt. Hanya Allah yang memberi kekuatan sehingga kita bisa melakukan pekerjaan tersebut.

Kedua, Taat kepada Allah tanpa perasaan berat. Sudah lazim terdengar, ketika seseorang disuruh beribadah kepada Allah kerap menjawab belum mampu atau belum siap. Ibadah kepada Allah tidak ada yang mudah, termasuk mengawali basmalah di setiap melakukan pekerjaan yang baik. Karena yang namanya tunduk, patuh dan menunjukkan sikap rendah diri kepada Allah memang diiringi dengan aturan-aturan yang cukup berat. Shalat shubuh, misalnya. Shalat fardhu yang dilakukan di saat terbit fajar ini berat bagi orang yang tak ingat akan tugas utama hidupnya di dunia ini adalah beribadah kepada Allah Swt.

Bahkan di dalam al-Qur’an, Allah Swt. juga menggambarkan seperti apa orang yang taat, patuh dan memiliki ketundukan hati kepada Allah Swt. “Tidak! Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2]: 112). Secara singkat, ketundukan hati kepada Allah Swt. membuat seorang muslim tidak merasa berat dalam menjalankan pengabdian, bahkan ia tidak akan bersedih hati bila hal-hal yang tidak menyenangkan menimpa dirinya.

Sungguh, posisi seorang muslim dalam pengabdiannya kepada Allah Swt. juga digambarkan di dalam Al-Qur’an, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)

Artinya, seorang muslim tidak akan memiliki sedikit pun perasaan berat terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Malah, ia merasa mendapatkan kepuasan dari apa yang telah ditetapkan Allah. Pribadi inilah yang termasuk dalam sabda Rasulullah Saw. “Demi Allah Tuhan Ka’bah, sembahlah Allah sampai engkau benar-benar merasakan kepuasan. Jika tidak mampu, hendaklah dalam kondisi sabar saat menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan namun di dalamnya terdapat banyak kebaikan.

Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah Swt. Ini adalah bentuk pengabdian manusia yang terakhir. Bentuk pengabdian yang memang menunjukkan bahwa seorang muslim adalah manusia, sehingga ia tidak bisa menentukan secara total apa yang diinginkannya. Ada Allah Swt, Tuhan yang mengatur dan menentukan apa yang pantas untuknya.

Setelah melakukan suatu amal atau pekerjaan, seorang muslim harus tawakkal atau menyerahkan diri kepada Allah Swt. Karena di sinilah nantinya, ia akan menjadi pribadi yang paham tentang siapa dirinya dam apa tujuan ia hidup di dunia ini. Karena tidaklah ada yang dilakukannya di dunia ini kecuali mencari keridhaan Allah Swt.

Inilah yang dijelaskan di dalam al-Qur’an dan juga menjadi bacaan setiap muslim di saat duduk antara dua sujud di setiap rakaat shalat, “Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (Al-An’am: 162)

Karena itu, penting dipahami bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan mesti bertujuan meraih keridhaan Allah. Tak ada yang bisa dilakukan di dunia tanpa mendapat izin dari Allah. Melakukan kebaikan pun pada dasarnya atas izin Allah Swt. http://www.pelitailahi.com

Wanita yangTidak Boleh Dinikahi

Wanita yang tidak tidak boleh dinikahi Menurut Islam Penulis H. TARMIZI ALFUJUDY Terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan demi terc...