Setelah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para
sahabat tinggal berpencar di beberapa negeri yang berjauhan dan mereka
menjadi panutan masyarakat setempat. Sementara itu permasalahan semakin
berkembang, dan merekalah yang menjadi tumpuan pertanyaan. Mereka pun
menjawab sesuai dengan hafalan dan kemampuan
istinbath
(pengambilan kesimpulan hukum) mereka. Seandainya jawaban mereka itu
belum memenuhi harapan, maka mereka berijtihad dan berusaha mengetahui
illat (sebab/alasan) yang dijadikan pertimbangan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menentukan hukum melalui penelaahan beberapa hadits.
Perbedaan pendapat di kalangan sahabat timbul diantaranya disebabkan hal-hal berikut:
Seorang sahabat mendengar suatu putusan atau fatwa hukum, sedangkan
yang lain tidak, sehingga mereka berijtihad. Ijtihadnya ada beberapa
kemungkinan:
Pertama, Ijtihadnya sesuai dengan hadits
Ibnu Mas’ud pernah memutuskan perkara wanita yang ditinggal mati
suaminya yang belum menentukan jumlah maharnya. Beliau memutuskan
perkara itu dengan ra’yunya karena tidak mendapatkan keterangan dari
hadits. Keputusannya tersebut ternyata dikuatkan oleh Ma’qil Ibn Yasr
yang bersaksi bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah memutuskan hal yang sama.
Berikut hadits yang mengungkapkan tentang hal di atas:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ
رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَلَمْ يَفْرِضْ لَهَا صَدَاقًا وَلَمْ
يَدْخُلْ بِهَا حَتَّى مَاتَ فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ
نِسَائِهَا لَا وَكْسَ وَلَا شَطَطَ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَهَا
الْمِيرَاثُ فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الْأَشْجَعِيُّ فَقَالَ قَضَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِرْوَعَ بِنْتِ
وَاشِقٍ امْرَأَةٍ مِنَّا مِثْلَ الَّذِي قَضَيْتَ فَفَرِحَ بِهَا ابْنُ
مَسْعُودٍ
Dari Ibnu Mas’ud bahwa dia ditanya tentang seorang lelaki yang
menikahi seorang wanita. Lelaki tersebut belum menentukan mahar juga
belum menyetubuhinya dan tiba-tiba meninggal. Ibnu Mas’ud menjawab;
“Wanita
itu berhak mendapatkan mahar yang sama dengan mahar istri lainnya,
tanpa dikurangi atau ditambah. Dia harus menjalani masa iddah dan dia
mendapatkan harta warisan.” Lantas Ma’qil bin Sinan Al Asyja’i berdiri sambil berkata;
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi keputusan hukum mengenai
Barwa’ binti Wasyiq, salah seorang dari kaum kami seperti yang kau
putuskan.” Ibnu Mas’ud merasa senang. (HR. Tirmidzi)
Kedua, pendapatnya diralat karena ditemukan hadits
Abu Hurairah pernah berpendapat bahwa orang yang junub pada pagi hari
di bulan Ramadhan tidak wajib berpuasa. Pendapat itu kemudian
diralatnya setelah ‘Aisyah memberitahukan bahwa Rasulullah menyatakan
hal yang sebaliknya.
Simaklah hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي بَكْرٍ بن عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ الْحَارِثِ بنِ هِشَامٍ قَالَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ يَقُصُّ يَقُولُ فِي قَصَصِهِ مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ
جُنُبًا فَلَا يَصُمْ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
الْحَارِثِ لِأَبِيهِ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَانْطَلَقَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَسَأَلَهُمَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ ذَلِكَ
قَالَ فَكِلْتَاهُمَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ قَالَ
فَانْطَلَقْنَا حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى مَرْوَانَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ مَرْوَانُ عَزَمْتُ عَلَيْكَ إِلَّا مَا
ذَهَبْتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَرَدَدْتَ عَلَيْهِ مَا يَقُولُ قَالَ
فَجِئْنَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَأَبُو بَكْرٍ حَاضِرُ ذَلِكَ كُلِّهِ قَالَ
فَذَكَرَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَهُمَا
قَالَتَاهُ لَكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ هُمَا أَعْلَمُ ثُمَّ رَدَّ أَبُو
هُرَيْرَةَ مَا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ إِلَى الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ
فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ الْفَضْلِ وَلَمْ
أَسْمَعْهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
فَرَجَعَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَمَّا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ قُلْتُ
لِعَبْدِ الْمَلِكِ أَقَالَتَا فِي رَمَضَانَ قَالَ كَذَلِكَ كَانَ
يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ
Dari Abu Bakr bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dia menuturkan : Aku mendengar Abu Hurairah
radhiyallahu ’anhu suatu saat bercerita dan mengatakan di dalam ceritanya itu bahwa
“Barangsiapa yang menemui waktu fajar dalam keadaan junub maka hendaknya dia tidak berpuasa.”
Aku (Abu Bakr) menceritakan hal itu kepada Abdurrahman bin Al-Harits
(yaitu ayahnya sendiri). Ternyata beliau mengingkari hal itu. Lantas
Abdurrahman pun berangkat menemui ‘Aisyah dan Ummu Salamah dan aku juga
ikut pergi bersamanya.
Ketika kami bertemu dengan mereka berdua, beliau (Abdurrahman)
menanyakan kepada mereka berdua tentang hal itu. Abdurrahman berkata :
Mereka berdua mengatakan bahwa
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menjumpai waktu subuh dalam keadaan junub bukan karena
mimpi basah kemudian beliau tetap berpuasa.”
Kemudian kami beranjak pergi menemui Marwan (bin Al-Hakam, gubernur
kota Madinah di saat itu, pen). Lantas Abdurrahman pun menceritakan
kisah itu kepadanya. Lalu Marwan mengatakan,
“Aku bersumpah kepadamu, tetaplah pada pendirianmu dan temuilah Abu Hurairah untuk membantah apa yang pernah dia katakan.” Dia berkata,
“Kami pun datang menemui Abu Hurairah dan saat itu Abu Bakr juga hadir di sana menyaksikan semuanya.”
Abu Bakr menceritakan : kemudian Abdurrahman pun menyampaikan masalah
itu kepadanya (Abu Hurairah). Lantas Abu Hurairah berkata,
“Apakah mereka berdua benar-benar telah menceritakan hal itu kepadamu?”. Abdurrahman menjawab,
“Iya.” Maka Abu Hurairah mengatakan,
“Mereka berdua tentu lebih mengetahui.”
Kemudian Abu Hurairah menyandarkan pendapat yang dulu pernah
diucapkannya dalam masalah itu kepada (penuturan) Al-Fadhl bin Al-Abbas.
Abu Hurairah berkata,
“Aku hanya mendengarnya dari Al-Fadhl, dan aku tidak mendengarnya langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Hurairah pun rujuk dari pendapatnya yang dulu dalam masalah itu.
Aku (Ibnu Juraij, salah seorang periwayat hadits ini) berkata kepada Abdul Malik (anak dari Abu Bakr, pen),
“Apakah mereka berdua (Aisyah dan Ummu Salamah) juga mengatakan bahwa hal itu terjadi di bulan Ramadhan?”. Dia menjawab,
“Memang begitu, ketika itu beliau junub (tapi) bukan karena mimpi basah, kemudian beliau tetap berpuasa.” (HR. Muslim [1109]).
Ketiga, Hadits yang ada tidak dianggap kuat, maka ijtihadnya tidak ditinggalkan
Umar bin Khattab berpendapat bahwa tayamum itu tidak mencukupi bagi
orang junub yang tidak menemukan air. Disampaikan oleh Ammar kepada
beliau hadits Nabi yang menyatakan bahwa tayamum sudah mencukupi. Tapi
Umar tidak menerima hadits itu sebagai hujjah sampai hadits itu menjadi
masyhur dari beberapa jalur sanad, lalu orang pun banyak menggunakannya.
Hadits yang mengungkapkan tentang hal ini diantaranya adalah:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ؛ فَقَالَ: إِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ، فَقَالَ
عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا
كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ؛ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ،
وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا كَانَ
يَكْفِيكَ هكَذَا، فَضَرَبَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِكَفَّيْهِ
الأَرْضَ، وَنَفَخَ فِيهِمَا وَجْهَهُ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
وَكَفَّيْهِ أخرجه البخاري في: 7 كتاب التيمم: 4 باب المتيمم هل ينفخ فيهما
Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Alkhatthab dan bertanya: “Saya berjanabat lalu tidak mendapat air.” Maka Ammar r.a. berkata kepada Umar: “Apakah
anda tidak ingat ketika aku bersamamu dalam bepergian lalu kita berdua
berjanabat, adapun Anda tidak shalat, sedang aku berguling-guling di
tanah lalu shalat, lalu hal itu saya ceritakan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sesungguhnya cukup bagimu berbuat begini’, lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memukul-kan kedua tapak tangan ke tanah, lalu ditiup
kemudian diusapkan mukanya dan kedua tapak tangannya.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Tayamum, bab 4)
Keempat, Tidak ada hadits yang didengar sama sekali
Aisyah
radhiallahu ‘anha menyatakan pengingkaran terhadap Abdullah bin Amr
radhiallahu ‘anhuma ketika sampai kabar kepada Aisyah
radhiallahu ‘anha bahwa Abdullah bin Amr
radhiallahu ‘anhuma menyuruh kaum wanita agar melepaskan ikatan rambut mereka saat mandi. Aisyah
radhiallahu ‘anha berkata
,
يَا عَجَبًا بِالْنِ عَمْرٍو هَذَا!
يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوسَهُنَّ،
أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُؤُوسَهُنَّ؟ لَقَدْ أَغْتَسِلُ
أَناَ وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، فَمَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ
أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِي ثَلاَثَ إِفْرَغَاتٍ
“Aneh sekali Ibnu Amr itu! Dia memerintah para wanita melepaskan
ikatan rambut mereka saat mandi. Mengapa dia tidak menyuruh mereka
mencukur rambut sekalian? Dahulu aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana, dan aku tidak lebih dari sekadar menuangkan ke atas kepalaku tiga tuangan.” (
HR. Muslim no. 745)
Mereka melihat Rasulullah melakukan sesuatu, sebagian menganggapnya
sebagai suatu bentuk qurbah (ibadah) sementara sebagian yang lain
menganggapnya sebagai ibahah (kebolehan).
Jumhur berpendapat bahwa lari-lari kecil ketika thawaf adalah sunnah.
Tapi Ibnu Abbas berpendapat bahwa tindakan tersebut adalah karena
pengaruh eksternal, yaitu respon terhadap perkataan orang musyrikin yang
mengatakan bahwa kaum muslimin dalam kondisi lemah karena terhinggapi
penyakit panas Yatsrib.
Haditsnya adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ قَالَ قُلْتُ
لِابْنِ عَبَّاسٍ أَرَأَيْتَ هَذَا الرَّمَلَ بِالْبَيْتِ ثَلَاثَةَ
أَطْوَافٍ وَمَشْيَ أَرْبَعَةِ أَطْوَافٍ أَسُنَّةٌ هُوَ فَإِنَّ قَوْمَكَ
يَزْعُمُونَ أَنَّهُ سُنَّةٌ قَالَ فَقَالَ صَدَقُوا وَكَذَبُوا قَالَ
قُلْتُ مَا قَوْلُكَ صَدَقُوا وَكَذَبُوا قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ مَكَّةَ فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ
إِنَّ مُحَمَّدًا وَأَصْحَابَهُ لَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يَطُوفُوا
بِالْبَيْتِ مِنْ الْهُزَالِ وَكَانُوا يَحْسُدُونَهُ قَالَ فَأَمَرَهُمْ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْمُلُوا
ثَلَاثًا وَيَمْشُوا أَرْبَعًا
Dari Abu Thufail ia berkata:
“Aku pernah bertanya kepada Ibnu
Abbas, ‘Tahukah Anda tentang berlari-lari kecil sebanyak tiga kali
putaran di Baitullah dan berjalan empat kali putaran, apakah hal
tersebut merupakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Sebab, kaum Anda menganggap bahwa hal tersebut adalah ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam?.’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Mereka benar,
namun mereka juga telah keliru.’ Aku bertanya, ‘Apa maksud ungkapanmu,
bahwa mereka benar, namun keliru?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah datang ke Makkah, lalu
orang-orang Musyrik mengatakan bahwa Muhammad dan para sahabatnya tidak
mampu thawaf di Baitullah karena lemah. Orang-orang musyrik itu dengki
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Ibnu Abbas melanjutkan;
‘Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para
sahabat agar berlari-lari kecil tiga kali putaran dan empat kali
putaran berjalan biasa.'” (HR. Muslim)
Perbedaan karena salah faham
Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika perjalanan haji Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampai di masjid Dzulkhulaifah, beliau shalat dua rakaat. Disitulah
Allah mulai mewajibkan haji. Kemudian beliau berihram. Hal itu terdengar
oleh para sahabatnya dan dihafalkannya.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهَلَّ
فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ
“Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan do’a talbiyah setelah shalat.” (HR. An-Nasa’i)
Hadits dari Jabir menyebutkan:
مَا أَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مِنْ مَسْجِدِ ذِي الْحُلَيْفَةِ
“…tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan doa talbiyah kecuali dari Masjid Dzul Hulaifah.” (HR. An-Nasa’i).
Setelah itu beliau naik unta, ketika unta itu bangkit dan mulai
melangkah beliau kemudian bertalbiyah. Hal ini pun disaksikan oleh
sebagian sahabat yang berdatangan berkelompok-kelompok, mereka kemudian
mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah ketika beliau beranjak ke arah tujuannya.
Salim bin Abdullah berkata:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْكَبُ
رَاحِلَتَهُ بِذِي الْحُلَيْفَةِ ثُمَّ يُهِلُّ حِينَ تَسْتَوِي بِهِ
قَائِمَةً
“Sesungguhnya Abdullah bin Umar berkata: ‘Saya pernah melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengendarai kendaraannya di Dzul
Hulaifah, kemudian mengucapkan doa talbiyah di saat kendaraan tersebut
berdiri membawanya.'” (HR. Nasa’i)
Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di puncak Al-Baida’ beliau masih bertalbiyah. Hal itu diketahui sahabat lain yang kemudian mengatakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah ketika sampai di puncak Al-baida’.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْبَيْدَاءِ ثُمَّ رَكِبَ
وَصَعِدَ جَبَلَ الْبَيْدَاءِ وَأَهَلَّ بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ حِينَ
صَلَّى الظُّهْرَ
“Dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukan shalat Dhuhur di Baida`, kemudian beliau mengendarai
kendaraannya dan menaiki gunung Al Baida`, serta mengucapkan doa
talbiyah untuk melakukan haji dan umrah disaat telah melakukan shalat
Dhuhur.” (HR. An-Nasa’i)
جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ يُحَدِّثُ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ فِي حَجَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَتَى ذَا الْحُلَيْفَةِ صَلَّى وَهُوَ صَامِتٌ حَتَّى
أَتَى الْبَيْدَاءَ
“Ja’far bin Muhammad menceritakan dari ayahnya dari Jabir
mengenai haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; kemudian setelah sampai
Dzul Hulaifah beliau melakukan shalat serta terdiam hingga sampai
Baida'”. (HR. Nasa’i)
Perbedaan karena lupa
Pernah disampaikan kepada ‘Aisyah bahwa Ibnu Umar Radliyallahu ‘Anhuma berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam pernah melakukan umrah
sebanyak empat kali, salah satunya di bulan Rajab.” Maka Aisyah berkata,
يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ
مَا اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا
وَهُوَ مَعَهُ وَمَا اعْتَمَرَ فِي رَجَبٍ قَطُّ
“Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman,
Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah
kecuali dia ikut serta, tapi sama sekali beliau tidak pernah umrah di
bulan Rajab.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan penalaran
Ibnu Umar pernah menyampaikan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seorang mayat disiksa oleh sebab tangis dan ratap keluarganya. Aisyah kemudian meralatnya bahwa yang dikatakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan bermaksud seperti itu. Menurut Aisyah Nabi bersabda:
“Keluarganya menangisinya, padahal ia sedang disiksa di dalam kuburnya.” Ibnu Umar mengira bahwa siksaan tersebut disebabkan oleh tangisan keluarganya.
Hadits tentang hal ini adalah sebagai berikut.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
مُلَيْكَةَ، مُنَاظَرَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ
الْعَبَّاسِ فِي الْبُكَاءِ عَلَى الْمَيِّتِ، وَرُجُوعِهِمَا فِيهِ إِلَى
أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ وَقَوْلِهَا: وَاللَّهِ مَا قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ
بِبُكَاءِ أَحَدٍ، وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الْكَافِرَ يَزِيدُهُ عِنْدَ اللَّهِ بُكَاءُ
أَهْلِهِ عَذَابًا شَدِيدًا، وَإِنَّ اللَّهَ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى،
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dari Abdullah bin Abu Mulaikah, telah bermunazharah (berselisih)
Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas di dalam masalah menangisi
mayit, lalu mereka berdua merujuk tentang hal itu kepada Ummul Mukminin
‘Aisyah r.a dan beliau berkata : ‘Demi Allah tidaklah yang disabdakan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Sesungguhnya mayat akan
disiksa dikarenakan tangisan salah seorang dari kalian’, tetapi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang
kafir akan ditambah (siksaannya) oleh Allah karena ditangisi oleh
keluarganya dengan siksaan yang sangat keras, dan sesungguhnya Dialah
yang menjadikan tertawa dan menangis (QS.53 – an-Najm : 43), dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS. 6 – an-An’am : 164) ” (HR. Imam Hakim, Al-Mustadrak 1/537 )
Perbedaan dalam memahami illat hukum
Seperti tentang berdirinya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika ada jenazah yang lewat. Sebagian berpendapat bahwa itu karena
penghormatan beliau. Sebagian lagi berpendapat bahwa itu karena tidak
senang jenazah lewat di atas kepalanya. Hal ini khusus bagi mayat kafir.
Perbedaan dalam mengkompromikan dua pendapat yang berbeda
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dispensasi
kawin mut’ah pada Perang Khaibar, kemudian melarangnya, dan
memperbolehkannya lagi pada Perang Authas, kemudian melarangnya lagi.
Ibnu Abbas berkata: “Dispensasi itu karena adanya darurat, dan larangan
itu karena hilangnya darurat.” Sedangkan jumhur berpendapat bahwa
dispensasi itu adalah sebagai kebolehan dan larangan itu sebagai
penghapusan.
Jumhur diantaranya merujuk pada hadits berikut ini:
عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ
عَبَّاسٍ يُلَيِّنُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَقَالَ: مَهْلًا يَا ابْنَ
عَبَّاسٍ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ, نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ
لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma bersikap lunak tentang praktik mut’ah atas kaum wanita. Lalu, Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu pun menegur,
“Hati-hati,
wahai Ibnu Abbas! Sebab, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah melarang praktik mut’ah pada Perang Khaibar. Demikian
juga, beliau melarang untuk mengonsumsi keledai peliharaan.” (HR. Muslim)
Dalam beberapa riwayat diterangkan bahwa pendapat Ibnu Abbas itu pun
hanya dalam keadaan darurat, sebagaimana halnya hukum darah, bangkai,
dan daging babi.
Abu ‘Awanah (al-Mustakhraj, no. 4057) meriwayatkan dengan sanad yang
sahih dari ar-Rabi’ bin Sabrah, beliau berkata, “Sebelum meninggal
dunia, Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwa tersebut.”
Al-Imam an Nawawi
rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim.
Beliau mengatakan, “Pendapat yang benar dan dipilih, pengharaman dan
pembolehan nikah mut’ah masing-masing terjadi sebanyak dua kali. Sebelum
peristiwa Khaibar dihalalkan, kemudian pada saat perang Khaibar
diharamkan. Lalu ketika terjadi Fathu Makkah—termasuk Perang Authas
karena bersambung—, nikah mut’ah diperbolehkan lagi. Akan tetapi, tiga
hari kemudian, nikah mut’ah diharamkan untuk selamanya sampai hari
kiamat.” Sahabat Rabi’ bin Sabrah
radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ, بِالْمُتْعَةِ
عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا
حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا
“Pada tahun Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengizinkan kami untuk melakukan mut’ah ketika kami memasuki kota
Makkah. Kemudian, tidaklah kami keluar meninggalkan kota Makkah kecuali
dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengharamkannya untuk kami.” (HR. Muslim no. 1406)
Wallahu A’lam…
Dikutip dan diringkas dari:
Lahirnya Mazhab-mazhab Fiqh, Syaikh Waliyullah Al-Dahlawy serta dilengkapi hadits-hadit dari berbagai sumber.