PANDANGAN ISLAM TERHADAP CINTA YANG PRODUKTIF
Oleh : H Tarmizi, S.PdI di kutip dari tulisan Syahri Ramadhan, S.Psi
“Perspektif Islam Terhadap Romantisme Cinta Saat Pacaran Antara Dua Orang Anak Manusia”
PENDAHULUAN
Innal hamdalillah, wa syukurillah wa asyhaduallaa ilaha illallah wahdah. Washolatu wa salamu ‘ala muhammadin maulanal mursalin.
Banyak
teori-teori psikologi barat yang mengemukakan pendapat mereka tentang
kepribadian manusia, diantaranya teori Erich Fromm. Fromm mengemukakan
teori kodrat kepribadian yang sehat, salah satunya adalah “cinta yang produktif”.
Fromm mengatakan bahwa cinta yang produktif bukanlah semata-mata cinta
yang di dasari oleh nafsu dan tidak terbatas cinta yang erotis, tetapi
mungkin cinta persaudaraan (cinta kepada sesama manusia) atau cinta
keibuan (cinta dari ibu kepada anak). Esensi
cinta produktif adalah adanya perlindungan dan tanggung jawab. Tidak
ada yang namanya penguasaan antara satu pihak ke pihak lainnya.
Di
dalam Islam kita juga di ajarkan untuk saling mencintai, namun cinta
yang paling utama adalah cinta kepada Allah Swt, kemudian Cinta kepada
Rasul Saw, kemudian cinta kepada ibu bapak, dan yang terakhir adalah
cinta kepada sesama manusia. Allah Swt berfirman (QS. Ali Imran: 31):
“...maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka
dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui”. (Al-Maidah: 54)
“ Katakanlah: "Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Ali Imran: 31).
Rasul Saw bersabda:
“Tidak
sempurna iman seseorang diantara kamu, sehingga ia mencintai
(mengasihi) saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.(HR.
Bukhari dan Anas).
“Cintailah
kekasihmu sewajarnya saja, siapa tahu suatu saat ia akan menjadi
musuhmu. Dan bencilah musuhmu biasa-biasa saja, siapa tahu suatu waktu
ia akan menjadi kekasihmu”. (HR. Bukhari, Abu daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Imam Ali bin Abi Thalib karamahullahu wajhahu berkata: “Jika
engkau mencintai, maka cintailah dengan dengan cinta yang sewajarnya,
Karena engkau tidak tahu kapan engkau akan meninggal. Dan jika engkau
membenci maka bencilah dengan sewajarnya, karena engkau tidak tahu kapan
rasa cinta akan datang kiembali”.
Begitulah
sedikit gambaran cinta dalam Islam. Islam adalah agama yang menanamkan
rasa cinta kepada setiap pemeluknya. Bukan hanya terbatas cinta kepada
Allah, Rasul, sesama manusia saja, bahkan Islam mengajarkan cinta kepada
seluruh makhluk Allah, baik itu binatang maupun hewan. Karena Islam
adalah agama rahmatan lil ‘alamin.
Namun,
dalam pembahasan penulis pada esai ini, penulis hanya akan membahas
bagaimana tuntunan Islam dalam mengatur umatnya untuk saling mencintai
sesama manusia dengan mengkorelasikannya pada teori cinta yang produktif
menurut Erich Fromm, tidak tertutup kemungkinan kedua pandangan ini
akan saling mengisi satu sama lainnya atau lebih ekstrim penulis
membahasakannya “teori Fromm merupakan kunci untuk menggali ke kamilan
(kesempurnaan Islam dalam memandang arti cinta”.
Penulis
tertarik membahas masalah ini karena umat Islam khususnya telah banyak
salah mengartikan cinta. Terutama dikalangan muda-mudi Islam saat ini,
memang masa remaja adalah masa yang indah. Pada masa ini manusia mulai
mengenal dan tertarik kepada lawan jenisnya, sehinggga keinginan untuk
menjalin hubungan yang lebih intim diantara wanita dan pria sangat kuat.
Akibatnya, karena kurang pahamnya remaja kita dengan ajaran Islam maka
tidak sedikit kita mendengar sekarang Remaji muslim yang hamil diluar
nikah atau orang kulon mengatakan KDT (kehamilan yang tidak diinginkan)
atau lebih halus lagi di istilahkan dengan MBA (merried by accident).
Ada
akibat tentu ada sebabnya, jika kita berjalan-jalan ke tempat-tempat
wisata sekarang, dimanapun itu tempatnya, baik yang ada di keramaian
orang maupun di tempat yang sepi-sepi, baik di kota mau pun di desa.
Tidak sedikit kita jumpai remaja kita yang asyik duduk-duduk berduan,
saling berpegangan tangan, bercandaria, bahkan ada yang tertangkap mata
kita mereka saling ciuman (kissing) dengan lawan jenis yang bukan mahrom
mereka. Anehnya lagi yang perempuannya banyak yang mengenakan jilbab.
Rasul Saw bersabda:
“Janganlah seorang laki-laki berduaaan dengan seorang perempuan, kecuali bersama dengan mahromnya”. (HR. Bukhari)
“Janganlah
seorang laki-laki berduan dengan seorang wanita yang tidak halal
baginya karena sesungguhnya Syaitan adalah adalah orang ketiga diantara
mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya”. (HR. Ahmad).
Mereka menyebut hal semacam ini dengan “pacaran”.
Tentu saja Islam sangat menentang dan melarang dengan keras perbuatan
mereka tersebut karena akan bisa berdampak kepada perzinahan. Padahal
Allah Swt melarang manusia untuk tidak mendekati zina:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32).
Oleh
karena itu penulis akan mencoba untuk membahas bagaimana seharusnya
remaja kita mengendalikan hasrat cinta yang mereka miliki kepada
butiran-butiran mahligai mutiara cinta yang diridhoi oleh Allah Swt dan
bagaimana sebenarnya cinta yang produktif menurut Islam.
LATAR BELAKANG
Pergaulan
social sesama manusia adalah hal penting dalam kehidupan. Manusia pada
dasarnya adalah makhluk social, meminjam istilah Yunani, manusia adalah homo socius,
atau makhluk bermasyarakat. Dalam masyarakat, hubungan seseorang dengan
orang lain tentu saja diatur oleh aturan dan norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Manusia diciptakan untuk hidup bermasyarakat,
sehingga manusia tidak akan bisa hidup tampa adanya teman atau
masyarakat lain. Seperti itu jugalah gambaran kebutuhan antara pria dan
wanita yang saling melengkapi satu sama lainnya dalam memenuhi kebutuhan
mereka, karena memang esensinya Allah ta’ala menciptakan makhluknya
berpasang-pasangan, seperti ada surga ada neraka, ada langit ada bumi,
ada daratan ada lautan, ada air dan ada api, dan ada laki-laki (ar-Rijal) dan ada perempuan (mar’at). Allah ta’ala berfirman:
“Dan
Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan
sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan”.(QS. ar-Ra’ad: 3)
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.(QS.Adz-Zariyat:49).
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)
Cinta
kepada lawan jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. karena sebab
cintalah, keberlansungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu,
Allah ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan
bagi penghuni surga (bidadari surga yang dipersembahkan Allah ta’ala
bagi hambanya yang beriman dan beramal saleh). Islam sebagai agama yang
sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan hasrat cinta tersebut
dalam syari’at yang rahmatal lil’alamin. Namun, bagaimanakah
jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar’i? fenomena
itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran
cinta ala mereka biasa disebut dengan “pacaran”.
Dalam
keilmuan Islam belum begitu banyak para ahli yang membahas mengenai
masalah cinta dan istilah pacaran. Akan tetapi beberapa tahun belakangan
ini pembahasan mengenai masalah cinta dan pacaran mulai berkembang
dalam keilmuan Islam khususnya, Salah seorang tokoh ilmuwan Islam yang
membahas masalah ini adalad Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam buku
terjemahan kitabnya “Raudhatul Muhibbiin”, yang berjudul Taman Orang-orang Jatuh Cinta, terj. Bahrun AI Zubaidi, Lc (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006).
Pengertian Cinta
Cinta berasal dari bahasa arab al-Hubb dengan bersyakal dammah (al-Hubb) atau kasrah (al-Hibb), memiliki makna cinta, kasih sayang, dan persahabatan (al-Wudad wal Ulfah).
Kita juga dapat mendevinisikan terminologi cinta sebagai
berikut. “Kondisi seseorang yang terpesona dan terpikat, yang
terjadi antara dua belah pihak, yakni antara al-Mahbub (yang dicintai) dan al-Muhibb (yang
mencintai). Dengan cara yang khusus sesuai dengan kadarnya dan
kedalaman rasa cintanya. Jadi dalam terminologi cinta seperti ini juga
termasuk cinta kepada kedua orang tua, saudara, sahabat, teman, dll.
Seperti sabda Rasul Saw bahwa cinta itu dapat terjadi, sekalipun antara
seorang manusia dengan benda mati.
“Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kami pun mencintainya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasa cinta (al-Hubb) adalah antonim dari emosi (al-Bughd).
Dengan keluasan maknanya, rasa cinta tidak hanya disyariatkan, namun
terkadang diwajibkan. Namun sebaliknya, cinta tidak hanya dilarang,
namun terkadang sering kali diharamkan.
Lebih jelas lagi beberapa ahli fikih memberikan devinisi cinta sebagai berikut:
Pertama,
cinta menurut Ibn Hazm adalah bersatunya dua bagian jiwa yang terpisah
di dalam wujud bentuk ciptaannya, yang pada asalnya merupakan satu
entitas yang luhur.
Ibnu
Hazm menjelaskan tentang kondisi seseorang pecinta secara mendetail
sebagai berikut. Pribadi seorang pecinta memilki sifat ikhlas,
mengetahui posisi yang dekat untuk mencari sang kekasih. Hatinya
tertambat kepadanya, senantiasa mencarinya, memiliki hasrat untuk
bertemu. Jika saja memungkinkan, ia akan berusaha untuk selalu
menariknya. Layaknya antara megnet dan besi, dimana kekuatan unsur
magnet akan selalu berhubungan dengan kekuatan unsur besi, tidak bisa
menyalahi hukumnya. Namun jika magnet tersebut sudah habis daya
magnetnya, maka tidak akan kembali menarik besi. Namun, akan selalu
menarik dan menggerakkan besi, jika magnet tersebut memiliki kekuatan
daya magnet yang besar.
Kekuatan
unsur besi telah baku, tidak dapat tercegah karena adanya suatu
penghalang. Besi juga akan mencari benda yang menyerupainya, akan
menghabiskan waktu dengannya, dan akan bangkit berdiri dihadapan
benda-benda tersebut secara otomatis dan reflex, baik karena memilih
atau menyengaja.
Kedua, cinta menurut Dr. Khalid Jamal adalah cahaya jalan, dan tempat berjalannya cahaya (Nurutthariq wa Thariqunnar). Cinta juga merupakan ruhnya kehidupan dan kehidupan bagi ruh (Ruhulhayat wa Hayaturruh).
Ungkapan
diatas selaras dengan apa yang didevinisikan oleh Dr. Khalid Jamal
sebagai berikut. ”Cinta adalah perasaan jiwa dan emosi hati, serta
gejolak jiwa yang memikat hati seorang pecinta kepada kekasih hatinya,
dengan cinta yang penuh rasa, simpatik, dan manusiawi.”
Ketiga, cinta menurut Imam ar-Rafi’i adalah dua jiwa yang saling bertautan (ta’alluq) dan hanya dipenuhi dengan perasaan yang sepenuh hati (ihsas).
Cinta juga merupakan pancaran cahaya yang didalamnya terdapat kekuatan
kehidupan. Seperti cahaya matahari yang bersumber langsung dari
matahari.
Apakah perhiasan cinta dan seisi dunia dapat membeli rahasia-rahasia, perasaan cinta, dan cahaya yang hidup (Nur al-Hayy)?
Oleh
karena itu arti cinta adalah rasa cinta itu sendiri. Arti makna cinta
ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Imam ar-Rafi’i sebagai
berikut; “Sungguh, cinta akan meletakkkan ruhnya disetiap ruangannya.
Sensasi perasaan ini dapat mengubah kondisi psikologis seorang manusia.
Sehingga kondisi jiwanya akan berubah seiring dengan perubahan perasaan
cintanya”.
Sedangkan dari internet arti cinta adalah agama dan agama adalah cinta. KataIlahi (tuhan) diambil dari kata al-Walah, yang artinya adalah kehilangan kesadaran dan kebingungan karena cinta. Sedangkan al-Alaqah (relasi)
antara Allah ta’ala dengan makhluk-Nya didasari oleh rasa cinta dan
kasih sayang. Berdasarkan hal inilah, maka Allah ta’ala menyifati
diri-Nya dengan sifat ar-Rahim dan al-Wadud (Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang). Di dalam sejarah kehidupan manusia,
devinisi tentang term agama dan cinta di atas merupakan devinisi lain
dari yang lain. Devinisi tersebut menginformasikan kepada kita tentang
kandungan cinta dan agama, bahwa agama adalah cinta kepada Allah ta’ala,
manusia, dan kepada kebaikan. Cinta menjadi suci jika didasari dengan
kecintaan kepada Allah ta’ala, kebenaran, dan keindahan absolute
(mutlak). (Situs Internet Balagh: Babu Ad-Din wa Al-Hayat ( Bab agama dan Kehidupan) di dalam makalah yang berjudul “Agama dan Cinta”).
Cinta merupakan sebab dari segala bentuk hubungan yang dilandasi dengan kasih
sayang, perhatian, tanggungjawab, saling menjaga, dan rela berkorban
demi orang yang kita cintai. Seorang pecinta yang sejati akan melakukan
apa saja terhadap orang atau apa saja yang ia cintai, jika itu bisa
membuat yang ia cintai menjadi senang. Seorang laki-laki yang mencintai
seorang wanita akan selalu berusaha membuat wanita yang dicintainya itu
menjadi senang. Seorang anak yang mencintai orang tuanya, akan berbakti
kepada keduanya dengan selalu mebuat orang tuanya menjadi bangga dan
senang. Seorang hamba yang mencintai rabb-nya akan menjalankan seluruh
perintahNya dan menjauhi segala laranganNya dan akan selalu merasa
rabb-nya selalu mengawasinya dan selalu dekat dengannya.
Kembali
kepada topic pembahasan kita, bahwa cinta dikalangan remaja saat ini
sering di aktualisasikan dengan “pacaran”. Pacaran dalam tinjauan
syari’at Islam merupakan wujud penyaluran cinta yang tidak syar’i.
Namun, fenomena inilah yang melanda hampir sebagian besar kalangan
remaja Islam saat ini. Berikut adalah beberapa tinjauan syar’i Islam
mengenai pacaran.
Ajaran Islam Melarang Mendekati Zina
Allah ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an, “Dan jangan lah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32). Dalam Tafsir Jalalain dikatakan
bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras dari pada perkataan
“Janganlah melakukannya”. Artinya, jika kita mendekati zina saja tidak
boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang. Asy
Syaukani dalam Fathul Qadir mengatakan, “Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan”.
Dilihat
dari perkataan ini kita juga dapat menyimpulkan, bahwa, setiap jalan
(perantara) menuju zina adalah sesuatu yang dilarang. Ini berarti
memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang
dilakukan dengan lawan jenis yang bukan mahrom karena hal itu sebagai
perantara zina adalah sesuatu yang terlarang.
Pria
mana sih yang tidak ingin mendapatkan gadis yang masih suci ketika
menikah? Pria yang berhasil mendapatkan perawan akan lebih bahagia dan
mencintai istrinya daripada yang sudah tidak perawan lagi. Memang ada
juga yang tidak peduli, karena memang sudah cinta mati, terpaksa kawin,
atau memang cowok bandel yang biasa main cewek nakal dan lebih
mementingkan kepuasan serta kebaikan fisik saja.
Bisa jadi awalnya tidak ada masalah, namun laki-laki bisa saja penasaran
atas kenapa isterinya tidak perawan dan apakah istrinya terkena
penyakit menular seksual/ PMS atau tidak. Bisa jadi punya pikiran kalau
istrinya dulu wanita nakal, jablai, maniak, dan sebagainya yang bisa
mengurangi rasa cintanya.
Kenapa sih seorang gadis harus kehilangan keperawanan demi sedikit rasa
enak yang beresiko tinggi menghancurkan masa depan dan bisa membuat aib
keluarga. Bermainlah yang aman-aman saja tanpa harus melibatkan orang
lain. Untuk mendapatkan kenikmatan tidak harus dibantu lawan jenis. Cara
mencintai yang baik yang sehat adalah mencintai yang tidak melibatkan
hubungan seks.
Islam Memerintahkan untuk Menundukan Pandangan
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukan pandangan ketika melihat lawan jenis. Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah kepada lak-laki yang beriman:”Hendaklah mereka menundukan pandangannya dan memelihara kemaluannya”. (QS. an-Nur: 30). Dalam lanjutan ayat ini Allah juga berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beeriman:”Hendaklah mereka menundukan pandangannya dan memelihara kemaluan mereka”. (QS. An-Nur: 31).
Ibnu Katsir ketika manafisrkan ayat pertama di atas
mengatakan”Ayat ini merupakan perintah Allah ta’ala kepada hambaNya yang
beriman untuk menundukan pandangan mereka dari hal-hal yang haram.
Janganlah mereka melihat kecuali terhadap apa yang dihalalkan kepada
mereka untuk melihatnya (yaitu pada istri dan mahromnya).
Hendaklah mereka juga menundukan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika
memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram dengan tidak
sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera”.
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, Firman Allah ta’ala: ”Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka ‘yaitu
hendaklah mereka menundukan pandangan dari apa yang Allah haramkan
melihatnya kecuali suaminya’. Oleh karena itu, mayoritas ulama
berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki selain
suami dan mahromnya. Baik dengan syahwat atau tanpa syahwat. Sebagian
ulama lain mengatakan boleh melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.
Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis? Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan ”Aku
bertanya kepada Rasulallah Saw tentang pandangan yang cuma selintas
(tidak sengaja). Kemudian Rasulallah Saw memerintahkan kepadaku agar
segera memalingkan pandanganku”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi, Ahmad).
Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu,
tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini
membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syari’at, berarti
sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi
dibolehkan, tetapi sudah dilarang.
Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya
secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan
normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini. Jika
memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang
indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, “Untuk pemilihan hukum dalam bab ini,
kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan
ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah
merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak
akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan
cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan
menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak
sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang
tercela”.
Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia wanita yang
cantik dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh
seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit
penilaian suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah
yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau
jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa
cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul
dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan. Seorang
laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab r.a., “Wahai Amirul Mukminin,
aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya”.
Umar berkata, “Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak dapat
dikendalikan”. (Riwayat Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb.
Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, “Cinta
adalah perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada
seseorang”.
Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari
pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak
berlanjut kepada pandangan mata kedua. Karena, jika rasa cinta ini
kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk
yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan.
Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja
tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya
kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan yang terpelihara adalah
apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk
tidak berusaha melihat lagi kemudian.
Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai
Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya!
Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh. (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul Hawa menyebutkan bahwa dari Abu
al-Hasan al-Waidz, dia berkata, Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar
al-Waidz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti
bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada
wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya,
“Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah
Anda? Dia menjawab, “Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani
Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya.
Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, “Wahai Habib? Aku
menjawab, “Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah. “Allah berfirman,
“Lewatlah Kamu di atas neraka”. Maka aku melewatinya dan aku ditiup
sekali sehingga aku berkata, “Aduh” (karena sakitnya). Maka Dia
memanggilku, “Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya
kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api
neraka)”. Hal tersebut sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad (anak
muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang
sangat dalam di akhirat kelak.
Faedah dari menundukan pandangan, sebagaimana di firmankan Allah Swt dalam QS. An-Nur: 30, “Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka”
yaitu dengan menundukan pandangan akan lebih menjaga agama orang-orang
yang beriman. Inilah yang dikatan oleh Ibnu Katsir. Semoga Allah ta’ala
merahmati beliau.
Agama Islam Melarang Beruduaan dengan Lawan Jenis
Seiring dengan kematangan seksual, menurut Gorrison (Sunarto
& Agung Hartono, 1994) seorang remaja akan mengalami jatuh cinta
dalam masa kehidupannya pada usia belasan tahun. Dalam perkembangan
fisik pada usia tersebut telah mencapai kematangan seksual yang
mempengaruhi perkembangan sosialnya. Pada masa itu remaja laki-laki
mulai tertarik pada lain jenis dan sebaliknya. Kedua jenis remaja mulai
mengenal perasaan cinta.
Jika rasa jatuh cinta ini berlanjut, yaitu menimbulkan langkah baru dan
secara kebetulan pihak lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini,
terjadilah hubungan yang lebih jauh dan lebih tinggi levelnya, yaitu
hubungan intim. Hubungan ini sudah tidak menghiraukan lagi rambu-rambu
yang ketat, apalagi aturan. Dalam hubungan ini pasangan muda-mudi sudah
bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami pasangan suami istri.
Pelaku hubungan pada tingkatan ini sudah lepas kendali. Perasan libido
seksual sudah sangat mendominasi. Dorongan seksual inilah yang menjadi
biang keladi hitam kelamnya hubungan tingkat ini. Bersalaman dan saling
bergandeng tangan agaknya sudah menjadi pemandangan umum di kehidupan
masyarakat kita, bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan
intim muda-mudi zaman sekarang. Inilah hubungan muda-mudi yang sekarang
ini kita kenal dengan istilah pacaran.
Malam minggu adalah malam surga bagi pasangan muda-mudi yang menjalin
hubungan pada tingkatan ini. Mereka telah memiliki istilah yang sudah
terkenal: ”apel”. Sang kekasih datang ke rumah kekasihnya. Ada kalanya
apel hanya dilaksanakan di rumah saja, ada kalanya berlanjut pergi ke
suatu tempat yang tidak diketahui lingkungan yang dikenalnya. Dengan
begitu, mereka bebas melakukan apa saja atas dasar saling menyukai.
Al-Hakim meriwayatkan, “Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan
wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang
tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya”.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan
sekali-kali dia berduaan dalam tempat sepi dengan seorang wanita, sedang
dia dengan wanita tersebut tidak memiliki hubungan keluarga (mahram),
karena yang ketiga dari mereka adalah setan”. (HR Ahmad).
Ath-Thabarani juga meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah
kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di
tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian)
dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan seorang
yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih
baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal
baginya”.
Ibnul al-Jauzi di dalam Dzamm ul-Hawa menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a. keduanya berkata, Rasulullah saw. berkhotbah, “Barang
siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau
budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga
untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barangsiapa yang
memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan
memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam
neraka. Barangsiapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang)
haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan di
belenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke
dalam neraka. Dan barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita,
maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang
diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan)
lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi
dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh dengannya, maka
wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki
tersebut”.
Islam Melarang Jabat Tangan dengan Lawan Jenis yang Bukan Mahrom
Jabatan dengan lawan jenis termasuk hal yang dilaramg Islam, sebagaimana sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. “Setiap
anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini sesuatu yang
pasti terjadi, tidak bias tidak. Zina kedua mata dengan melihat, zina
kedua telinga dengan mendengar, zina lisaqn adalah dengan berbicara,
zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan
melangkah. Dan zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan.
Lalu kemaluanlah yang nanti membenarkan dan mengingkari yang demikian”. (HR. Muslim).
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis yang bukan
isteri atau mahrom, di istilahkan dengan berzina. Berarti menyentuh
lawan jenis adalah perbuatan yang dilarang oleh syari’at karena
berdasarkan kaidah ushul “Apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu yang lain yang dihukumi harom, maka menunjukan, bahwa perbuatan tersebut adalah harom”.(lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al-Juda’i).
Dalam percintaan ala remaja saat ini yang biasa disebut “pacaran” tidak
mungkin tidak ada yang saling berpegangan atau “saling menyentuh” sama
sekali, bahkan lebih dari itu telah mereka lakukan. Nauzubillahi tsumma nauzubillah.
Meninjau Fenomena Pacaran Saat Ini
Tak kenal maka tak sayang! Itulah sebuah ungkapan yang telah populer di
kehidupan kita. Bahkan, ungkapan itu memang berlaku umum, yaitu sejak
seseorang mulai mengenal lingkungan hidupnya. Dalam konteks hubungan
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, istilah tak kenal maka
tak sayang adalah awal dari terjalinnya hubungan saling mencintai. Apa
lagi, di zaman sekarang ini hubungan seperti itu sudah umum terjadi di
masyarakat. Yaitu, suatu hubungan yang tidak hanya sekadar kenal, tetapi
sudah berhubungan erat dan saling menyayangi. Hubungan seperti ini oleh
masyarakat dikenal dengan istilah “pacaran”.
Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Istilah pacaran dalam bahasa
Arab disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan; berkasih-kasihan,
yaitu dari sebuah pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Para ulama telah banyak membicarakan masalah ini, seperti misalnya yang terdapat dalam Fatwa Lajnah Daimah,
sebuah kumpulan fatwa dari beberapa ulama. Sebelum sampai pada simpulan
hukum pacaran, terlebih dahulu ditelusuri berbagai kemungkinan yang
terjadi ketika sebuah pasangan muda-mudi yang bukan mahram menjalin
hubungan secara intim. Dengan penelusuran seperti ini, suatu tindakan
tertentu yang berkaitan dengan hubungan muda-mudi ini dapat dinilai dari
sudut pandang syar’i. Dengan demikian, kita akan dengan mudah
mengetahui suatu hubungan yang masih dapat ditoleransi oleh syariat dan
yang tidak.
Pacaran merupakan suatu jembatan untuk mendekati zina. Mula-mula diawali
dengan pandangan, kemudian pandangan itu mengendap ke dalam hati,
kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua, lalu berani berdua-duaan di
tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan lawan jenis atau
pasangan dengan dihiasi sedikit ciuman yang lama-lama cinta tadi
dibuktikan dengan hubungan persetubuhan (zina). Na’uzubillahi min Zalik. Lau pintu mana lagi yang lebih dekat dengan perzinahan selain pintu pacaran?
Mungkinkah ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan “pacaran Islami”
tidak mungkin bias terhindar dari larangan di atas. Banyak kaum
muslimin yang berkata pacaran itu boleh-boleh saja, asalkan tau
batas-batasnya dan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan ini
semakna dengan kalimat “Mandi boleh asal jangan basah”. Ungkapan
yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam
makna apapun yang dipahami oleh orang saat ini, tidaklah sesuai dengan
syari’at Islam.
Dalam Islam hanya diperbolehkan melihat calon isteri (nazhor)
sebelum dinikahi dengan didampingi mahromnya, itupan ada batas-batasnya,
yang biasa disebut sebagai pacaran oleh kalangan ahlul fiqh. Atau
setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu merupakan istilah yang
rancu, karena pacaran sekarang tidaklah seperti itu. Yang lebih
didominasi oleh hubungan yang lebih intim lagi, misalnya sepasang
kekasih yang berjalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat atau
sekarang dengan ber SMS ria, dan berbagai hal lain yang jelas-jelas
disisipi hal-hal yang haram, seperti pandangan haram, bayangan haram,
hayalan haram, dan banyak lagi yang lain, yang tidak dibenarkan oleh
syari’at.
Bila kemudian ada istilah “pacaran Islami”, itu merupakan
pemaksaan makna. Kalau seandainya ada pacaran Islami maka ada juga dong,
istilah judi Islami atau bahkan meneguk minuman keras yang Islami dan
sejenisnya.
Bagaimana Cinta Produktif Menurut Erich Fromm?
Cinta dalam pandangan Erich Fromm dikenal dengan Cinta “Yang Produktif”, atau dalam bukunya “The Art of Loving”
(1956), menyebutnya “perhatian aktif terhadap kehidupan dan pertumbuhan
sesuatu yang kita cintai”, adalah suatu hubungan manusia yang bebas dan
sederajat dimana partner-partner dapat mempertahan individualitas
mereka. Diri orang sendiri tidak terserap atau hilang dalam cinta
terhadap orang lain. Diri tidak berkurang dalam cinta produktif,
melainkan diperluas, dibiarkan terbuka sepenuhnya. Suatu perasaan akan
hubungan tercapai tetapi identitas dan kemerdekaan seseorang
terpelihara.
Tercapainya cinta yang produktif merupakan salah satu dari
prestasi-prestasi kehidupan yang lebih sulit. Kita tidak “jatuh” dalam
cinta; kita harus berusaha sekuat tenaga karena cinta yang produktif
menyangkut empat sifat yang menantang; perhatian, tanggung jawab,
respek, dan pengatahuan. Memperhatikan orang lain berarti memperhatikan
dan memelihara mereka, sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan
mereka, dan membantu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Menurut
penulis ungkapan Fromm ini semakna dengan apa yang di firmankan Allah
ta’ala di dalam al-Qur’an al-Karim surat an-Nisa: 34 dan at-Tahrim ayat: 6.
“Kaum laki-laki adalah pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita” (QS. An-Nisa: 34)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6).
Islam mengajarkan kepada pemeluknya bukan hanya cinta, perlindungan,
atau pun pemeliharan sebatas di dunia saja, malainkan Islam mengajarkan
pemeluknya Untuk mencintai, melindungi, dan memelihara orang kita cintai
sampai kepada kehidupan sesudah mati yaitu dari siksaan neraka. Inilah
yang dinamakan dengan cinta yang hakiki yaitu cinta yang didasarkan
karena cinta kepada Allah ta’ala yang mengahasilkan cinta murni, ikhlas,
penuh tanggungjawab, perlindungan, tampa mengharapkan imbalan, dan
bukan cinta yang harus memiliki atau menerima, tetapi cinta yang selalu
memberikan yang terbaik untuk orang yang dicintai.
Dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan yang belum menikah atau
percintaan pada masa remaja Fromm menamakan cinta seperti ini dengan
cinta erotic, yaitu cinta antara jenis kelamin yang berbeda antara pria
dan wanita. Cinta ini disebut erotic karena mengundang nafsu atau
dorongan-dorongan erotic dan seksual. Pada umumnya perasaan cinta ini
muncul pada diri seseorang bersamaan dengan berkembangnya hormon-hormon
seksual saat memasuki masa remaja awal. Jika perasaan cinta ini tidak
terkendalikan dengan baik justru akan menimbulkan berbagai bentuk
penyimpangan seksual.
Namun demikian, Erich Fromm menegaskan cinta yang produktif tidak
terbatas pada cinta erotic. Walaupun Fromm menyatakan demikian, menurut
penulis, jika cinta antara pria dan wanita tidak di dasari oleh
pemahaman yang dalam terhadap agama akan menghancurkan diri Si pecinta
dan yang dicintainya. Disinilah kita bisa melihat kesempurnaan ajaran
Islam yang telah mengatur dan membatasi gerak-gerik orang-orang yang
sedang dimabuk cinta yang bisa membuat orang menjadi hilang akalnya,
sehingga cinta yang seharusnya mendatangkan kebahagian malah berakhir
dengan tragedy yang tragis dan penyasalan.
https://raudlatulmuhibbin.blogspot.co.id